Nama “Indonesia” Dikenal Sejak 1890
3 Oktober 2011
0
comments
Pada edisi tahun 1890 ini, dikupas mengenai tradisi mengayau (head-hunting) suku Dayak di Borneo. Saya kutipkan sekelumit tulisan yang tentunya dilihat dari sudut pandang wartawan AS tersebut. Many Dayak tribes are still addicted to head-hunting, a practice which has made their name notorious, and which but lately threatened the destruction of the whole race. It is essentially a religious practice – so much so that no important act in their lives seems sanctioned unless accompanied by the offering of one or more heads. The child is born under adverse influences unless the father has presented a head or two to the mother before before its birth. The young man cannot become a man and arm himself with the mandau or war-club, until he has beheaded at least one victim. The wooer is rejected by the maiden of his choice unless he can produce one head to adorn their new home.
Koran The Sun Minggu 22 Agustus 1909
Koran Sacramento 27 September 1890
Secara singkatnya disebutkan bahwa
tradisi mengayau ini merupakan kehidupan religius suku ini mulai dari
saat pemuda akan melamar gadis pilihannya, saat isterinya mengandung dan
akan melahirkan, saat anak muda diakui sebagai lelaki yang berhak
memanggul mandau semuanya dipersyaratkan dengan head-hunting. Bagian yang menarik perhatian saya adalah paragraf yang menuliskan kata ‘Indonesia’ sebagai berikut: With
the gradual spread of Islam the Dayaks of the British and Dutch
possession are slowly abandoning their blood-thirsty usage. At the same
time the headhunters themselves , strange to say, are otherwise the most
moral people in the whole of Indonesia. Nearly all are perfectly frank and honest.
(Dengan penyebaran agama Islam, suku Dayak di wilayah jajahan Inggris
dan Belanda sedikit demi sedikit meninggalkan tradisi pertumpahan darah
ini. Yang sangat mengherankan, pengayau (headhunter) ini boleh
dikatakan adalah orang yang paling menjaga moral di seluruh kawasan
Indonesia. Hampir semuanya memiliki sifat kejujuran dan keterus-terangan
yang paripurna.
Koran San Francisco 13 juni 1910
Atau menarik pula disimak sebuah artikel mengenai penemuan suku (tribe)
cebol di kawasan Papua pada harian ’San Francisco’ tertanggal 13 Juni
1910 dengan judul berita ’Strange Tribe of Dwarfs’. Ya istilah strange dan tribe yang di masa kini tentu terasa sangat rasis, masih dipakai pada masa itu. Paragraf pertama artikel ini berbunyi : The
discovery of Dutch New Guinea of a tribe of dwarfs on the bench of the
great Snow Mountains is particularly interesting as establishing a new
point for the study of the primitive inhabitants, possibly absolute
autochthons, of Indonesia. Terjemahan bebasnya :
Penemuan suku kerdil Papua Belanda pada tebing Gunung Bersalju teramat
menarik didalam peneguhan dasar-dasar baru untuk penelitian penduduk
primitif, yang kemungkinan merupakan penduduk asli dari Indonesia.
Demikian pula istilah primitive yang dalam wacana modern tidak pernah lagi dipakai, masih galib dituliskan pada zaman itu.
koran The Sun (whistling in Indonesia)
Kutipan-kutipan di atas memang terasa bias dan rasis diterapkan pada kekinian, tapi yang ingin saya garis bawahi adalah kenyataan bahwa pada tahun 1890 nama ‘Indonesia’ ternyata sudah eksis dalam percaturan dunia. (Sumber: Kompas.com)