INFO PAJAK TERBARU: Uang Pesangon Bebas Pajak Penghasilan
26 Juli 2010
0
comments
Pemerintah memutuskan penerima bunga simpanan koperasi dan pesangon atau uang pensiun bagi pekerja yang berhenti atau diberhentikan dari pekerjaannya dibebaskan dari pungutan Pajak Penghasilan pada batas tertentu.
Langkah ini diharapkan mendorong pertumbuhan koperasi di Indonesia dan memberikan peluang bagi para pekerja yang baru saja kehilangan pekerjaan dan pensiunan untuk mengembangkan karier dalam dunia usaha.
"Koperasi adalah saka guru perekonomian sehingga perlu dikembangkan. Seperti bank, koperasi juga memberikan bunga atas simpanan anggotanya. Pajak atas bunga simpanan ini yang diturunkan sehingga kami harap lebih banyak orang yang mau menjadi anggota koperasi," ungkap Dasto Ledyanto, Kepala Subdirektorat Pajak Penghasilan (PPh), Pemotongan dan Pemungutan dan Orang Pribadi Direktorat Jenderal Pajak, di Jakarta, Jumat (23/7/2010).
Keringanan pajak atas bunga simpanan koperasi itu ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 112/ PMK.03/2010. Di dalamnya diatur, untuk bunga simpanan koperasi hingga Rp 240.000 per bulan, tidak ada PPh yang dibebankan alias nol persen. Sebelumnya, untuk simpanan hingga Rp 240.000 dikenai pajak 15 persen.
Kini, bunga simpanan koperasi di atas Rp 240.000 per bulan hanya dikenai PPh 10 persen dan bersifat final. "Bandingkan dengan pajak atas bunga deposito yang mencapai 20 persen atau pajak atas bunga obligasi yang mencapai 15 persen. Pajak bunga simpanan koperasi jauh lebih rendah," tutur Dasto.
Pajak pesangon
Pada saat yang sama, pemerintah juga menerbitkan PMK Nomor 16/PMK.03/2010 yang isinya memberikan insentif bagi semua penerima pesangon, tunjangan hari tua (THT), jaminan hari tua (JHT), atau dana pensiun. Sebelumnya, pajak atas pesangon, THT, JHT, atau dana pensiun yang besarnya Rp 25 jut-Rp 50 juta masih dikenai 5 persen, sekarang pajak atas pesangon, THT, JHT, atau dana pensiun hingga Rp 50 juta adalah nol persen.
Menurut Dasto, dengan aturan tarif PPh baru tersebut, ada distribusi keadilan, di mana penerima penghasilan yang lebih besar, pajaknya semakin tinggi. Dengan adanya insentif pajak ini, para penerima pesangon, THT, JHT, atau dana pensiun diharapkan mendapatkan modal untuk usaha baru atau sekadar untuk menikmati masa tuanya.
"Dengan tarif baru ini, orang yang menerima pesangon Rp 50 juta, misalnya, bisa mendapatkan take home pay Rp 50 juta karena pajaknya nol persen,” ujarnya.
Dasto menuturkan, PPh atas pesangon, THT, JHT, atau dana pensiun dapat dibayar oleh kantor tempat orang itu bekerja atau dibayar oleh orang itu sendiri. "Kami perbolehkan jika perusahaan menanggung PPh Pasal 21,” katanya.
Pajak tempat usaha
Sebelumnya, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Nomor PER-32/Pj/ 2010 tentang kemudahan bagi wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu (WP OPPT). WP OPPT itu tidak lain adalah setiap wajib pajak yang memiliki satu atau lebih tempat usaha yang bisa menjadi obyek pajak PPh Pasal 25 atau PPh yang dibayar secara berangsur-angsur setiap bulannya. Dengan demikian, penghasilan yang diperoleh dari warung, kios, atau toko yang ada di perumahan atau di mal terkena pajak ini.
Besaran PPh Pasal 25 untuk tempat usaha seperti itu ditetapkan 0,75 persen terhadap peredaran bruto. Sebelumnya, tidak ada kejelasan mengenai tarif PPh Pasal 25 untuk tempat usaha ini dan sulit diterapkan karena tidak mudah mengukur kebenaran omzet suatu usaha, selain dari pengakuan pedagangnya sendiri.
Pengamat pajak Ruston Tambunan mengingatkan, ada potensi lebih bayar pajak bagi pedagang yang mendapatkan penghasilan di bawah perhitungan standar Ditjen Pajak. Sebab, ketentuan 0,75 persen dari peredaran bruto itu diambil dengan asumsi penghasilan kena pajak neto atau peredaran bruto setelah dikurangi biaya-biaya dan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) adalah 7,5 persen dari peredaran bruto.
"Tentu ini tidak wajar bagi pedagang pengecer yang rata-rata penghasilan kena pajaknya, misalnya, 4 persen sebulan. Ini akan mengakibatkan lebih bayar,” ungkapnya. kompas.co