Bayi yang Dikandung Saat Perang Dunia II Otaknya Cepat Tua
15 September 2010
0
comments
Amsterdam, Kelangkaan pangan yang terjadi selama Perang Dunia II berdampak pada perkembangan otak bayi-bayi yang berada dalam kandungan pada masa itu. Hasil tes yang dilakukan 60 tahun kemudian menunjukkan otak bayi-bayi tersebut lebih cepat tua.
Dikutip dari BBC, Selasa (14/9/2010), efek penuaan yang dimaksud berupa memburuknya kemampuan selective attention. Kemampuan ini berhubungan dengan kemampuan mengatasi gangguan dalam berpikir.
Salah satu dampaknya adalah kesulitan untuk membedakan rangkaian kata yang ditulis dengan warna berbeda dari warna yang tertulis dalam kata tersebut. Misalnya saat membaca kata BIRU yang tertulis dengan tinta merah atau sebaliknya.
Di masa-masa awal pertumbuhan, gangguan ini tidak terdeteksi karena tidak ada gejalanya. Saat dilahirkan, bayi-bayi tersebut memiliki berat badan yang tidak jauh berbeda dengan bayi normal yang lahir di era yang sama tetapi bukan di wilayah yang mengalami kelangkaan pangan.
Berkurangnya kemampuan semacam itu biasanya terjadi pada lansia, akibat penurunan fungsi otak. Pada kasus ini, penurunan fungsi otak terjadi lebih cepat akibat kurangnya nutrisi selama berada dalam kandungan.
Temuan ini terungkap dalam penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal PNAS. Partisipan yang terlibat meliputi 300 warga Belanda berusia 50-an akhir, yang pada masa Perang Dunia II masih berada dalam trimester pertama atau kedua kandungan ibunya.
Kelangkaan pangan dalam masa Perang Dunia II terjadi di wilayah utara Belanda, tepatnya pada tahun 1944. Dalam masa yang dikenal dengan Hongerwinter atau Hunger Winter ini, pasokan makanan ke wilayah tersebut diblokade selama 6 bulan oleh penjajah Jerman.
Hingga bulan April 1945, diperkirakan korban tewas akibat tragedi kemanusiaan tersebut mencapai 20.000 jiwa. Para ibu hamil yang mampu bertahan hidup hanya mendapat asupan nutrisi sebanyak 400 hingga 800 kalori dalam sehari.(detik.com)
Dikutip dari BBC, Selasa (14/9/2010), efek penuaan yang dimaksud berupa memburuknya kemampuan selective attention. Kemampuan ini berhubungan dengan kemampuan mengatasi gangguan dalam berpikir.
Salah satu dampaknya adalah kesulitan untuk membedakan rangkaian kata yang ditulis dengan warna berbeda dari warna yang tertulis dalam kata tersebut. Misalnya saat membaca kata BIRU yang tertulis dengan tinta merah atau sebaliknya.
Di masa-masa awal pertumbuhan, gangguan ini tidak terdeteksi karena tidak ada gejalanya. Saat dilahirkan, bayi-bayi tersebut memiliki berat badan yang tidak jauh berbeda dengan bayi normal yang lahir di era yang sama tetapi bukan di wilayah yang mengalami kelangkaan pangan.
Berkurangnya kemampuan semacam itu biasanya terjadi pada lansia, akibat penurunan fungsi otak. Pada kasus ini, penurunan fungsi otak terjadi lebih cepat akibat kurangnya nutrisi selama berada dalam kandungan.
Temuan ini terungkap dalam penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal PNAS. Partisipan yang terlibat meliputi 300 warga Belanda berusia 50-an akhir, yang pada masa Perang Dunia II masih berada dalam trimester pertama atau kedua kandungan ibunya.
Kelangkaan pangan dalam masa Perang Dunia II terjadi di wilayah utara Belanda, tepatnya pada tahun 1944. Dalam masa yang dikenal dengan Hongerwinter atau Hunger Winter ini, pasokan makanan ke wilayah tersebut diblokade selama 6 bulan oleh penjajah Jerman.
Hingga bulan April 1945, diperkirakan korban tewas akibat tragedi kemanusiaan tersebut mencapai 20.000 jiwa. Para ibu hamil yang mampu bertahan hidup hanya mendapat asupan nutrisi sebanyak 400 hingga 800 kalori dalam sehari.(detik.com)