Setahun Tanpa Kemajuan Pemberantasan Korupsi
10 Desember 2010
0
comments
AnakMuda 3007 -Setahun lalu gerakan masyarakat mengecam pemberantasan korupsi yang jalan di tempat berlangsung marak di seluruh Indonesia. Bahkan di beberapa daerah menimbulkan aksi anarkis yang sangat kita sesalkan.
Harapan kita, tekanan kelompok masyarakat membuat pemerintah bertindak lebih serius untuk memberantas korupsi. Pemerintah menggerakkan aparat penegak hukum di bawahnya untuk bertindak lebih tegas dan tidak mengenal kompromi dalam memerangi korupsi.
Namun rupanya harapan kita terlalu tinggi. Desakan pemerintah membuat pemerintah bergeming. Sepanjang satu tahun yang terjadi bukan korupsi yang semakin berkurang, tetapi korupsi yang semakin menjadi-jadi.
Mengapa kita katakan demikian? Karena korupsi yang terjadi justru melibatkan para penegak hukum sendiri. Penegak hukum yang seharusnya memberantas korupsi menjadi bagian dari tindak korupsi itu sendiri.
Kasus Gayus Tambunan membuka mata kita betapa korupsi telah mengakar begitu dalam. Bahkan merambah masuk sampai ke pimpinan tertinggi penegak hukum. Pengakuan yang disampaikan Gayus di depan persidangan dirinya membuat kita sungguh sangat prihatin.
Bayangkan Gayus bisa bicara begitu terbuka tentang kiprahnya untuk mendapatkan uang sampai miliaran rupiah untuk mengurusi perpajakan Kelompok Bakrie. Ketika kemudian tindakan korupsinya tercium penegak hukum, yang terjadi bukan ia diproses secara hukum, tetapi menjadi bancakan para penegak hukum.
Meski masih harus disertai alat bukti lain, pengakuan Gayus memang sangatlah penting. Bagaimana para hakim mencoba untuk bisa ikut menikmati dollar yang diperoleh Gayus dari Kelompok Bakrie. Bahkan di Kejaksaan, Jaksa Agung Muda tidak mau ketinggalan untuk bisa menikmati uang hasil korupsi Gayus. Kalau polisi bahkan sudah terbukti menerima uang dari Gayus.
Saat berbicara pada Konferensi Pemberantasan Korupsi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang menyampaikan keprihatinannya terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. Menurut Presiden, kita akan sulit untuk bisa memberantas korupsi apabila penegak hukum yang seharusnya memberantas korupsi, ikut terlibat dalam korupsi itu sendiri.
Kita sejak dulu menyadari bahwa tidaklah mungkin kita membersihkan lantai yang kotor dengan sapu yang kotor. Kita membutuhkan penegak hukum yang benar-benar bersih tanpa cela, spotless clean, kalau memang mau melawan korupsi.
Kalau Presiden menyadari hal itu, maka yang harus dilakukan adalah membuat penegak hukum yang mampu melakukan tugas tersebut. Presiden dengan kewenangan yang dimiliki bisa mengganti orang-orang yang kotor dan tidak mampu menjalankan agenda besar pemerintah untuk memberantas korupsi.
Kalau saja Presiden tahu bahwa aparatnya tidak bersih, namun tidak berani untuk menggantinya, maka jangan berharap kita bisa membersihkan negeri ini dari korupsi. Pemberantasan korupsi tidak bisa dilakukan hanya dengan beretorika.
Ibaratnya Presiden tidak cukup hanya mengangkat pedang. Presiden harus menghunuskan dan menancapkannya. Presiden harus menebas ranting-ranting yang merusak perekonomian kita secara keseluruhan.
Korupsi tidak bisa dibiarkan merajalela karena menimbulkan moral hazard. Ketika kita tidak berani bertindak tegas, maka orang berani untuk menggerogoti keuangan negara. Padahal dana itu kita butuhkan untuk menyejahterakan rakyat.
Karena kejahatan yang luar biasa, korupsi tidak ditangani dengan cara-cara yang biasa. Kita membutuhkan cara-cara yang luar biasa apabila ingin membersihkan negeri ini dari korupsi.
Semua perangkat hukum yang diperlukan untuk pemberantasan korupsi sudah disiapkan. Bahkan Ketetapan MPR 1998 menggariskan untuk tidak menolerir praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kalau kemudian kita belum juga mampu melaksanakan ketetapan itu, maka ini persoalan ketidakmampuan kita untuk memberantas korupsi.
Inilah sebenarnya yang sangat kita prihatinkan. kita belum juga beranjak untuk bisa mengurangi korupsi, padahal itu jelas-jelas merugikan jutaan orang yang membutuhkan kehidupan yang lebih baik.
Harapan kita, tekanan kelompok masyarakat membuat pemerintah bertindak lebih serius untuk memberantas korupsi. Pemerintah menggerakkan aparat penegak hukum di bawahnya untuk bertindak lebih tegas dan tidak mengenal kompromi dalam memerangi korupsi.
Namun rupanya harapan kita terlalu tinggi. Desakan pemerintah membuat pemerintah bergeming. Sepanjang satu tahun yang terjadi bukan korupsi yang semakin berkurang, tetapi korupsi yang semakin menjadi-jadi.
Mengapa kita katakan demikian? Karena korupsi yang terjadi justru melibatkan para penegak hukum sendiri. Penegak hukum yang seharusnya memberantas korupsi menjadi bagian dari tindak korupsi itu sendiri.
Kasus Gayus Tambunan membuka mata kita betapa korupsi telah mengakar begitu dalam. Bahkan merambah masuk sampai ke pimpinan tertinggi penegak hukum. Pengakuan yang disampaikan Gayus di depan persidangan dirinya membuat kita sungguh sangat prihatin.
Bayangkan Gayus bisa bicara begitu terbuka tentang kiprahnya untuk mendapatkan uang sampai miliaran rupiah untuk mengurusi perpajakan Kelompok Bakrie. Ketika kemudian tindakan korupsinya tercium penegak hukum, yang terjadi bukan ia diproses secara hukum, tetapi menjadi bancakan para penegak hukum.
Meski masih harus disertai alat bukti lain, pengakuan Gayus memang sangatlah penting. Bagaimana para hakim mencoba untuk bisa ikut menikmati dollar yang diperoleh Gayus dari Kelompok Bakrie. Bahkan di Kejaksaan, Jaksa Agung Muda tidak mau ketinggalan untuk bisa menikmati uang hasil korupsi Gayus. Kalau polisi bahkan sudah terbukti menerima uang dari Gayus.
Saat berbicara pada Konferensi Pemberantasan Korupsi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang menyampaikan keprihatinannya terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. Menurut Presiden, kita akan sulit untuk bisa memberantas korupsi apabila penegak hukum yang seharusnya memberantas korupsi, ikut terlibat dalam korupsi itu sendiri.
Kita sejak dulu menyadari bahwa tidaklah mungkin kita membersihkan lantai yang kotor dengan sapu yang kotor. Kita membutuhkan penegak hukum yang benar-benar bersih tanpa cela, spotless clean, kalau memang mau melawan korupsi.
Kalau Presiden menyadari hal itu, maka yang harus dilakukan adalah membuat penegak hukum yang mampu melakukan tugas tersebut. Presiden dengan kewenangan yang dimiliki bisa mengganti orang-orang yang kotor dan tidak mampu menjalankan agenda besar pemerintah untuk memberantas korupsi.
Kalau saja Presiden tahu bahwa aparatnya tidak bersih, namun tidak berani untuk menggantinya, maka jangan berharap kita bisa membersihkan negeri ini dari korupsi. Pemberantasan korupsi tidak bisa dilakukan hanya dengan beretorika.
Ibaratnya Presiden tidak cukup hanya mengangkat pedang. Presiden harus menghunuskan dan menancapkannya. Presiden harus menebas ranting-ranting yang merusak perekonomian kita secara keseluruhan.
Korupsi tidak bisa dibiarkan merajalela karena menimbulkan moral hazard. Ketika kita tidak berani bertindak tegas, maka orang berani untuk menggerogoti keuangan negara. Padahal dana itu kita butuhkan untuk menyejahterakan rakyat.
Karena kejahatan yang luar biasa, korupsi tidak ditangani dengan cara-cara yang biasa. Kita membutuhkan cara-cara yang luar biasa apabila ingin membersihkan negeri ini dari korupsi.
Semua perangkat hukum yang diperlukan untuk pemberantasan korupsi sudah disiapkan. Bahkan Ketetapan MPR 1998 menggariskan untuk tidak menolerir praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kalau kemudian kita belum juga mampu melaksanakan ketetapan itu, maka ini persoalan ketidakmampuan kita untuk memberantas korupsi.
Inilah sebenarnya yang sangat kita prihatinkan. kita belum juga beranjak untuk bisa mengurangi korupsi, padahal itu jelas-jelas merugikan jutaan orang yang membutuhkan kehidupan yang lebih baik.
Suryopratomo
Jangan Lupa Berikan Komentarnya dan Cek Rate Artikelnya ya Teman-teman anak muda