Politik dan Hukum Mencintai Korupsi
10 Desember 2010
0
comments
AnakMuda 3007 -KORUPSI dibenci seantero dunia karena kejahatannya luar biasa bagi kemanusiaan. Karena itu, dunia menetapkan 9 Desember, hari ini, sebagai Hari Antikorupsi. Dibutuhkan perang global karena korupsi amat menggiurkan sehingga banyak negara yang hanya mampu berperang di mulut, tetapi di hati tidak.
Tahun lalu, Hari Antikorupsi dirayakan dengan sangat kolosal dan sarat cemoohan dari khalayak di Jakarta. Yang menonjol adalah hadirnya seekor kerbau yang diberi nama penuh sindiran. Untuk kali ini, polisi melarang pelibatan binatang bukan karena takut disindir, melainkan lebih pada kerisauan terhadap keselamatan umum.
Bila kita jujur dan jernih melakukan resensi terhadap perang melawan korupsi di Indonesia dalam 10 tahun terakhir, haruslah dikatakan bahwa perang itu mandek. Mandek karena pedang yang dihunus tidak membabat dan sapu yang kotor masih dipakai untuk menyapu.
Coba simak sejumlah data kuantitatif ini. Indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia dalam 10 tahun terakhir tidak mampu menembus angka 3 dari kemungkinan terbaik 10. Untuk 2010, IPK Indonesia adalah 2,8, sama dengan angka 2009 yang naik dari 2,6 pada 2008.
Dengan IPK 2,8, Indonesia sejajar dengan Djibouti, Kepulauan Solomon, dan Togo di Afrika. Di ASEAN, Indonesia berada di peringkat keempat di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand.
Angka yang amat rendah itu paralel dengan persepsi publik yang menilai sangat jelek lembaga-lembaga penegak hukum di Indonesia. Tiga lembaga penegak hukum--polisi, kejaksaan, dan pengadilan--masih dianggap khalayak sebagai badan-badan yang paling korup.
Korupsi menemukan kolaborasi sempurna di Indonesia karena publik pun memasukkan partai politik dan DPR sebagai lembaga yang paling korup.
Tahun lalu, Hari Antikorupsi dirayakan dengan sangat kolosal dan sarat cemoohan dari khalayak di Jakarta. Yang menonjol adalah hadirnya seekor kerbau yang diberi nama penuh sindiran. Untuk kali ini, polisi melarang pelibatan binatang bukan karena takut disindir, melainkan lebih pada kerisauan terhadap keselamatan umum.
Bila kita jujur dan jernih melakukan resensi terhadap perang melawan korupsi di Indonesia dalam 10 tahun terakhir, haruslah dikatakan bahwa perang itu mandek. Mandek karena pedang yang dihunus tidak membabat dan sapu yang kotor masih dipakai untuk menyapu.
Coba simak sejumlah data kuantitatif ini. Indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia dalam 10 tahun terakhir tidak mampu menembus angka 3 dari kemungkinan terbaik 10. Untuk 2010, IPK Indonesia adalah 2,8, sama dengan angka 2009 yang naik dari 2,6 pada 2008.
Dengan IPK 2,8, Indonesia sejajar dengan Djibouti, Kepulauan Solomon, dan Togo di Afrika. Di ASEAN, Indonesia berada di peringkat keempat di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand.
Angka yang amat rendah itu paralel dengan persepsi publik yang menilai sangat jelek lembaga-lembaga penegak hukum di Indonesia. Tiga lembaga penegak hukum--polisi, kejaksaan, dan pengadilan--masih dianggap khalayak sebagai badan-badan yang paling korup.
Korupsi menemukan kolaborasi sempurna di Indonesia karena publik pun memasukkan partai politik dan DPR sebagai lembaga yang paling korup.
Kolaborasi itulah yang mungkin paling betul untuk menjawab mengapa korupsi di Indonesia oleh sebagian orang dianggap semakin menggurita walaupun negara dengan lantang mencanangkan perang terhadapnya.
Hukum dan politik seakan membangun tembok berlapis untuk saling menyelamatkan. Kasus Gayus, kasus Anggodo, dan kasus kriminalisasi Bibit-Chandra adalah segelintir contoh tentang penyelamatan berlapis antara prosedur hukum dan kepentingan politik.
Ketika kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan yang sangat korup dibela mati-matian oleh kekuatan politik sebagai lembaga penegak hukum yang independen dan profesional, publik tidak percaya karena bertentangan dengan akal sehat. Mana mungkin penegakan hukum dipercayakan kepada lembaga yang korup?
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyatakan memimpin sendiri perang terhadap korupsi semakin lunglai. Sejumlah badan ad hoc dibentuk, seperti Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Tetapi, satgas kini menjadi sasaran kecaman beberapa partai politik karena dianggap sebagai instrumen politik Presiden untuk mencelakakan partai yang lain.
Jadi, perang terhadap korupsi di Indonesia mandek karena hukum dan politik bersekutu untuk saling melindungi. Sayangnya SBY tidak cukup kuat dan berani untuk melawan itu semua. Pedang di tangan SBY lebih banyak tersimpan dalam sarung, tidak menerabas apa-apa.
Hukum dan politik seakan membangun tembok berlapis untuk saling menyelamatkan. Kasus Gayus, kasus Anggodo, dan kasus kriminalisasi Bibit-Chandra adalah segelintir contoh tentang penyelamatan berlapis antara prosedur hukum dan kepentingan politik.
Ketika kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan yang sangat korup dibela mati-matian oleh kekuatan politik sebagai lembaga penegak hukum yang independen dan profesional, publik tidak percaya karena bertentangan dengan akal sehat. Mana mungkin penegakan hukum dipercayakan kepada lembaga yang korup?
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyatakan memimpin sendiri perang terhadap korupsi semakin lunglai. Sejumlah badan ad hoc dibentuk, seperti Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Tetapi, satgas kini menjadi sasaran kecaman beberapa partai politik karena dianggap sebagai instrumen politik Presiden untuk mencelakakan partai yang lain.
Jadi, perang terhadap korupsi di Indonesia mandek karena hukum dan politik bersekutu untuk saling melindungi. Sayangnya SBY tidak cukup kuat dan berani untuk melawan itu semua. Pedang di tangan SBY lebih banyak tersimpan dalam sarung, tidak menerabas apa-apa.
MediaIndonesia
Hari Antikorupsi se-Dunia: Pemberantasan Korupsi di Indonesia Berada Pada Titik Nadir
Kepercayaan publik pada pemerintahan SBY dalam hal pemberantasan korupsi sudah
berada pada titik nadir. Dalam hitungan setahun masa jabatan SBY, kepercayaan publik semakin hilang.
Penurunan itu terlihat dari hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tanggal 10-20 Oktober 2010. Dengan mengambil sampel 1.824 responden berusia 17 tahun atau lebih, dengan margin error sebesar lebih kurang 2,4 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
"Kepercayaan publik pada pemerintah untuk memberantas korupsi semakin menurun dari tahun ke tahun. Jika pada Oktober 2009 saat SBY baru dilantik kedua kalinya kepercayaan itu mencapai 83,7 persen, di bulan yang sama tahun ini kepercayaan itu tinggal 34 persen," ujar pengamat dari LSI, Burhanuddin Muhtadi, saat berbincang dengan detikcom, Kamis (9/12/2010).
"Ini fase yang paling buruk dimana kepercayaan publik sudah pada titik nadir," katanya.
Harapan Indonesia menjadi negara yang bebas korupsi tampaknya hanya sebuah impian. 47,2 persen suara responden mengatakan, perilaku korupsi di Indonesia semakin tinggi.
"Jelas ini lampu kuning karena publik merasa pemeritah gagal dalam menciptakan iklim antikorupsi di Indonesia," imbuhnya.
Turunnya tingkat kepercayaan publik secara drastis, dikatakan Burhanuddin dipicu oleh hilangnya kredibilitas dua institusi penegak hukum Kepolisian dan Kejaksaan. Kepercayaan publik pada dua institusi ini berada pada tingkat defisit.
"Dari empat lembaga penegak hukum yang kita miliki seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan KPK, hanya KPK lembaga yang aparatnya dinilai punya integritas. Sementara aparat di penegak hukum lainnya buruk," jelas Burhanuddin.
Aparatnya yang cenderung mendapat penilaian negatif, menjadikan lembaga-lembaga
penegak hukum kecuali KPK dinilai tidak akan membuahkan harapan besar untuk Indonesia yang bebas korupsi. Hal ini cukup menjadi bukti bahwa SBY telah gagal
mencanangkan reformasi birokrasi pada institusi ini.
"Pemerintah telah menghambur-hamburkan kepercayaan publik. Ini menjadi bukti
kegagalan Presiden dalam reformasi kepolisian dan kejaksaan," ungkapnya.
SBY harus segera mendorong dua institusi itu agar menyelesaikan kasus-kasus kakap yang mereka tangani. "Karena dalam situasi seperti ini sudah saatnya SBY menanggalkan retorikanya dalam pemberantasan korupsi," tandas Burhanuddin.
Detikcom
Hari Antikorupsi se-Dunia: Pemberantasan Korupsi di Indonesia Berada Pada Titik Nadir
Kepercayaan publik pada pemerintahan SBY dalam hal pemberantasan korupsi sudah
berada pada titik nadir. Dalam hitungan setahun masa jabatan SBY, kepercayaan publik semakin hilang.
Penurunan itu terlihat dari hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tanggal 10-20 Oktober 2010. Dengan mengambil sampel 1.824 responden berusia 17 tahun atau lebih, dengan margin error sebesar lebih kurang 2,4 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
"Kepercayaan publik pada pemerintah untuk memberantas korupsi semakin menurun dari tahun ke tahun. Jika pada Oktober 2009 saat SBY baru dilantik kedua kalinya kepercayaan itu mencapai 83,7 persen, di bulan yang sama tahun ini kepercayaan itu tinggal 34 persen," ujar pengamat dari LSI, Burhanuddin Muhtadi, saat berbincang dengan detikcom, Kamis (9/12/2010).
"Ini fase yang paling buruk dimana kepercayaan publik sudah pada titik nadir," katanya.
Harapan Indonesia menjadi negara yang bebas korupsi tampaknya hanya sebuah impian. 47,2 persen suara responden mengatakan, perilaku korupsi di Indonesia semakin tinggi.
"Jelas ini lampu kuning karena publik merasa pemeritah gagal dalam menciptakan iklim antikorupsi di Indonesia," imbuhnya.
Turunnya tingkat kepercayaan publik secara drastis, dikatakan Burhanuddin dipicu oleh hilangnya kredibilitas dua institusi penegak hukum Kepolisian dan Kejaksaan. Kepercayaan publik pada dua institusi ini berada pada tingkat defisit.
"Dari empat lembaga penegak hukum yang kita miliki seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan KPK, hanya KPK lembaga yang aparatnya dinilai punya integritas. Sementara aparat di penegak hukum lainnya buruk," jelas Burhanuddin.
Aparatnya yang cenderung mendapat penilaian negatif, menjadikan lembaga-lembaga
penegak hukum kecuali KPK dinilai tidak akan membuahkan harapan besar untuk Indonesia yang bebas korupsi. Hal ini cukup menjadi bukti bahwa SBY telah gagal
mencanangkan reformasi birokrasi pada institusi ini.
"Pemerintah telah menghambur-hamburkan kepercayaan publik. Ini menjadi bukti
kegagalan Presiden dalam reformasi kepolisian dan kejaksaan," ungkapnya.
SBY harus segera mendorong dua institusi itu agar menyelesaikan kasus-kasus kakap yang mereka tangani. "Karena dalam situasi seperti ini sudah saatnya SBY menanggalkan retorikanya dalam pemberantasan korupsi," tandas Burhanuddin.
Detikcom
Jangan Lupa Berikan Komentarnya dan Cek Rate Artikelnya ya Teman-teman anak muda