Kisah Inspiratif "AKAN KUGENDONG ENGKAU SAMPAI AJAL TIBA"
5 Januari 2012
0
comments
Sapaan seorang sahabat,
Mungkin Anda akan mencapku sebagai seorang romo yang terlalu cengeng, tapi
aku tidak mau menyembunyikan gejolak perasaan kemanusiaanku ketika mencoba
membaca dan menterjemahkan kisah ini dalam bahasa Indonesia yang sederhana
dan mudah untuk dimengerti. Beberapa kali aku harus berhenti sejenak,
merenung bahkan tak terasa rasa sedih menyelimuti seluruh tubuhku atas
sentuhan kata-kata yang terangkai dalam kalimat-kalimat penuh makna dalam
kisah ini.
Semoga saja kisah ini menjadi bahan pembelajaran bagi teman-teman yang baik
sedang merencankan untuk menikah, yang telah hidup dalam pernikahan, tapi
terlebih untuk teman-teman yang mengalami goncangan dalam hidup perkawinan
mereka saat ini. Percayalah.Tuhan sedang menegur dan mengingatkanmu akan
keutuhan dan kekudusan pernikahan lewat kisah yang sedang Anda baca ini.
AKAN KUGENDONG ENGKAU SAMPAI AJAL TIBA
Suatu malam ketika aku kembali ke rumah, istriku menghidangkan makan malam
untukku, sambil memegang tangannya aku
berkata; "Saya ingin mengatakan
sesuatu kepadamu." Istriku lalu duduk disamping sambil menemaniku menikmati
makan malam dengan tenang. Dari raut wajah dan matanya kutahu dia sedang
memendam luka batin yang membara.
Tiba-tiba aku tidak tahu harus memulai percakapan dari mana. Kata-kata
rasanya berat keluar dari mulutku. Akan tetapi aku harus membiarkan istriku
mengetahui apa yang sedang kupikirkan. Aku ingin sebuah perceraian diantara
kami. Aku lalu memberanikan diri untuk membicarakannya dengan tenang.
Nampaknya dia tidak terganggu sama sekali dengan pembicaraanku, dia malah
balik dan bertanya kepadaku dengan tenang, tapi mengapa?
Aku menolak menjawabnya. Ini membuatnya sungguh marah kepadaku. Dia
membuang choptiks di tangannya dan mulai berteriak kepadaku, "engkau bukan
seorang laki-laki sejati." Malam itu kami tidak saling bertegur sapa. Dia
terus
menangis dan menangis. Aku tahu bahwa dia ingin mengetahui alasan
dibalik keinginanku untuk bercerai. Tetapi aku dapat memberinya sebuah
jawaban yang memuaskan; "Dia telah menyebabkan kasih sayangku hilang
terhadap Jane (wanita simpananku). Aku tidak mencintainya lagi. Aku hanya
kasihan kepadanya."
Dengan sebuah rasa bersalah yang dalam, aku membuat sebuah pernyataan
persetujuan untuk bercerai bahwa dia dapat memiliki rumah kami, mobil dan
30% dari keuntungan perusahaan kami. Dia sungguh marah, merobek kertas itu.
Wanita yang telah menghabiskan 10 tahun hidupnya bersamaku kini telah
menjadi orang asing di rumah kami, khususnya di hatiku. Aku meminta maaf
untuknya, untuk waktunya yang telah terbuang selama 10
tahun bersamaku,
untuk semua usaha dan energy yang diberikan kepadaku tapi aku tidak dapat
menarik kembali apa yang telah kukatakan kepada Jane bahwa aku sungguh
mencintainya. Akhirnya dia menangis dengan suara keras di hadapanku yang
mana Aku sendiri berharap melihat terjadi padanya. Bagiku tangisannya tidak
mempunyai makna apa-apa. Keinginanku untuk bercerai di hati dan pikiranku
telah bulat dan aku harus melakukannya saat itu.
Hari berikutnya, ketika saya kembali ke rumah sedikit larut kutemukan dia
sedang menulis sesuatu di atas meja di ruang tidur kami. Aku tidak makan
malam tapi langsung pergi tidur karena rasa ngantuk yang tak tertahankan
akibat rasa capai sesudah seharian bertemu dengan Jane, wanita
idamanku saat
itu. Ketika terbangun kulihat dia masih duduk di samping meja itu sambil
melanjutkan tulisannya. Aku tidak menghiraukannya dan kembali meneruskan
tidurku.
Pagi harinya dia menyerahkan syarat-syarat perceraian yang telah ditulisnya
sejak semalam kepadaku; Dia tidak menginginkan sesuatupun dariku, tetapi
hanya membutuhkan waktu sebulan sebelum percerain untuk saling memperlakukan
sebagai suami-istri dalam arti sebenarnya. Dia memintaku dalam sebulan itu
kami berdua harus berjuang untuk hidup normal layaknya suami-istri.
Alasannya sangat sederhana; "Putra kami akan menjalani ujian dalam bulan itu
sehingga dia tidak ingin mengganggunya dengan rencana perceraian
kami."
Aku menyetujui syarat-syarat yang dia berikan. Akan tetapi dia juga meminta
beberapa syarat tambahan sebagai berikut; Dalam rentang waktu sebulan itu,
aku harus
mengingat kembali bagaimana pada permulaan pernikahan kami, aku
harus menggendongnya sambil mengenang kembali saat pesta pernikahan kami.
Dia memintaku untuk menggendongnya selama sebulan itu dari kamar tidur
sampai di muka pintu depan setiap pagi. Aku pikir dia sudah gila. Akan
tetapi, biarlah kucoba untuk membuat hari-hari terakhir kami menjadi indah
untuk memenuhi permintaannya kepadaku demi meluluskan perceraian kami.
Aku menceritakan kepada Jane (wanita simpananku) tentang syarat-syarat yang
ditawarkan oleh istriku. Jane tertawa terbahak-bahak mendengarnya dan
berpikir bahwa itu adalah sesuatu yang aneh dan tak bermakna. Terserah saja
apa yang menjadi tuntutannya tapi yang pasti dia akan menghadapi perceraian
yang telah kita rencanakan, demikian kata Jane.
Kami tak lagi berhubungan badan layaknya suami-istri selama waktu-waktu
itu. Sehingga sewaktu aku menggendongnya keluar menuju pintu rumah kami pada
hari pertama, kami tidak merasakan apa-apa. Putra kami melihatnya dan
bertepuk tangan dibelakang kami, sambil berkata, wow.papa sedang menggendong
mama. Kata-kata putra kami sungguh membuat luka di hatiku.
Dari tempat tidur sampai di pintu depan aku menggendong dan membawanya
sambil tangannya memeluk eratku. Dia menutup mata sambil berkata pelan;
"Jangan beritahukan perceraian ini kepada putra kita." Aku menurunkannya di
depan pintu. Dia lalu pergi ke depan rumah untuk
menunggu bus yang akan
membawanya ke tempat kerjanya. Sedangkan aku mengendarai mobil sendirian ke
kantorku.
Pada hari kedua, kami berdua melakukannya dengan lebih mudah.
Dia merapat
melekat erat di dadaku. Aku dapat mencium dan merasakan keharuman tubuh dan
pakaianya. Aku menyadari bahwa aku tidak memperhatikan wanita ini dengan
saksama untuk waktu yang sudah agak lama. Aku menyadari bahwa dia tidak muda
lagi seperti dulu. Ada bintik-bintik kecil di raut wajahnya, rambutnya mulai
beruban! Perkawinan kami telah membuatnya seperti itu. Untuk beberapa menit
aku mencoba merenung tentang apa yang telah kuperbuat kepadanya selama
perkawinan kami.
Pada hari yang ke empat, ketika aku menggendongnya, aku merasa sebuah
perasaan kedekatan/keintiman yang mulai kembali merebak di relung hatiku
yang paling dalam. Inilah wanita yang telah memberi dan mengorbankan 10
tahun kehidupannya untukku. Pada hari keenam dan ketujuh, aku mulai
menyadari bahwa kedekatan kami sebagai suami-istri mulai tumbuh kembali di
hatiku. Aku tidak mau mengatakan perasaan seperti ini kepada Jane (wanita
yang akan kunikahi setelah perceraian kami). Aku pikir ini akan lebih baik
karena aku hanya ingin memenuhi syarat yang dia minta agar nantinya aku bisa
menikah dengan wanita yang sekarang aku cintai, si Jane.
Aku memperhatikan ketika suatu pagi dia sedang memilih pakaian yang hendak
dia kenakan. Dia mencoba beberapa darinya tapi tidak menemukan satu pun yang
cocok untuk tubuhnya. Dia lalu sedikit mengeluh, semua pakaianku terasa
terlalu besar untuk tubuhku sekarang. Aku kemudian menyadari bahwa
dia
semakin kurus, dan inilah alasannya mengapa aku dapat dengan mudah
menggendongnya pada hari-hari itu.
Tiba-tiba kenyataan itu sangat menusuk dalam di hati dan
perasaanku.Dia
telah memendam banyak luka dan kepahitan hidup di hatinya. Aku lalu
mengulurkan tanganku dan menyentuh kepalanya.
Tiba-tiba putra kami muncul pada saat it
dan berkata, "Papa, sekarang
waktunya untuk menggendong dan membawa mama." Baginya, menggendong dan
membawa ibunya keluar menjadi sesuatu yang penting dalam hidupnya. Istriku
mendekati putra kami dan memeluk erat tubuhnya penuh keharuan. Aku
memalingkan wajahku ke arah yang berlawanan karena takut situasi istri dan
putraku akan mempengaruhi dan mengubah keputusanku untuk bercerai pada
saat-saat akhir memenuhi syarat-syaratnya. Aku lalu mengangkatnya dengan
kedua tanganku, berjalan dari kamar tidur kami, melalui ruang santai
sampai
ke pintu depan. Tangannya melingkar erat di leherku dengan lembut dan sangat
romantis layaknya suami-istri yang hidupnya penuh kedamaian dan harmonis
satu dengan yang lain. Aku pun memeluk erat tubuhnya; dan ini seperti moment
hari pernikahan kami 10 tahun yang lalu.
Akan tetapi tubuhnya yang sekarang ringan membuatku sedih. Pada hari
terakhir, ketika aku menggendongnya dengan kedua lenganku aku merasa sangat
berat untuk menggerakkan walaupun cuma selangkah ke depan. Putra kami telah
pergi ke sekolah. Aku memeluk eratnya sambil berkata, aku tidak pernah
memperhatikan selama ini bahwa hidup perkawinan kita telah kehilangan
keintiman/keakraban satu dengan yang lain. Aku mengendarai sendiri
kendaraan
ke kantorku..melompat keluar dari mobilku tanpa mengunci pintunya. Aku
sangat takut jangan sampai ada sesuatu yang membuatku mengubah pikiranku.
Aku naik ke lantai atas. Jane membuka pintu dan aku berkata kepadanya, Maaf,
Jane, Aku tidak ingin menceraikan istriku.
Jane memandangku penuh tanda tanya bercampur keheranan, dan kemudian
menyentuh dahiku dengan jarinya. Apakah badanmu panas? Dia berkata. Aku
mengelak dan mengeluarkan tangannya dari dahiku. Maaf, Jane, aku tidak akan
bercerai. Hidup perkawinanku terasa membosankan karena dia dan aku tidak
memakna secara detail setiap moment kehidupan kami, bukan karena kami tidak
saling mencintai satu sama lain. Sekarang aku menyadari bahwa
sejak aku
menggendong dan membawanya setiap pagi, dan terutama kembali mengingat
kenangan hari pernikahan kami aku memutuskan untuk tetap akan menggendongnya
sampai hari kematian kami tak terpisahkan satu dari yang lain. Jane sangat
kaget mendengar jawabanku. Dia menamparku dan kemudian membanting pintu
dengan keras dan mulai meraung-raung dalam kesedihan bercampur kemarahan
terhadapku. Aku tidak menghiraukannya. Aku menuruni tangga dan mengendarai
mobilku pergi menjauhinya. Aku singgah di sebuah tokoh bunga di sepanjang
jalan itu, aku memesan bunga untuk istriku. Gadis penjual bunga bertanya apa
yang harus kutulis di kartunya. Aku tersenyum dan menulis; "Aku akan
menggendongmu setiap pagi sampai kematian menjemput."
Petang hari ketika aku tiba di rumah, dengan bunga di tanganku, sebuah
senyum indah di wajahku, aku berlari kecil menaiki tangga rumahku, hanya
untuk bertemu dengan istiriku dan menyerahkan bunga itu sambil merangkulnya
untuk memulai sesuatu yang baru dalam perkawinan kami, tapi apa yang
kutemukan? Istriku telah meninggal di atas tempat tidur yang telah kami
tempati bersama selama 10 tahun pernikahan kami. Istriku telah berjuang
melawan kanker ganas yang telah menyerangnya berbulan-bulan tanpa
pengetahuanku karena kesibukanku untuk menjalin hubungan asmara dengan Jane.
Istriku tahu bahwa dia akan meninggal dalam waktu yang relatif singkat
akibat kanker ganas itu, dan ia ingin menyelamatkanku dari apapun pandangan
negatif yang mungkin lahir dari putra kami sebagai reaksi atas kebodohanku
sebagai seorang suami dan ayah, terutama rencana gila dan bodohku untuk
menceraikan wanita yang telah berkorban selama sepuluh tahun mempertahankan
pernikahan kami dan demi putra kami.
----sekurang-kurangnnya, di mata putra kami - aku adalah seorang ayah yang
penuh kasih dan sayang..demikianlah makna dibalik perjuangan istriku.
Sekecil apapun dari peristiwa atau hal dalam hidup sangat mempengaruhi
hubungan kita. Itu bukan tergantung pada uang di bank, mobil atau kekayaan
apapun namanya. Semuanya ini bisa menciptakan peluang untuk menggapai
kebahagiaan tapi sangat pasti bahwa mereka tidak bisa
memberikan kebahagiaan
itu dari diri mereka sendiri. Suami-istrilah yang harus saling memberi demi
kebahagiaan itu.
Karena itu, selalu dan selamanya jadilah teman bagi
pasanganmu dan buatlah
hal-hal yang kecil untuknya yang dapat membangun dan memperkuat hubungan dan
keakraban di dalam hidup perkawinanmu. Milikilah sebuah perkawinan yang
bahagia. Kamu pasti bisa mendapatkannya, kawan!
Jika engkau tidak ingin membagi cerita ini, pasti tidak akan terjadi
sesuatu padamu di hari-hari hidupmu.
Akan tetapi,
jika engkau mau membagi cerita ini kepada sahabat kenalanmu,
maka satu hal yang pasti bahwa Tuhan sedang menggunakanmu untuk
menyelamatkan perkawinan orang lain, terutama mereka yang sekarang
mengalami masalah dalam pernikahan mereka.
Salam dan doa seorang sahabat untuk para sahabat yang menikah maupun
yang berencana untuk menikah,
***Duc in Altum***