Fenomena Jokowi-Ahok
26 Maret 2012
0
comments
Mengapa paling fenomenal? Pertama, pasangan ini merupakan perpaduan dua tokoh lokal yang unik dengan prestasinya yang fenomenal. Jokowi adalah Wali Kota Solo yang terpilih untuk kedua kalinya dengan 91% suara. Meskipun “hanya” walikota, popularitas Jokowi di Jawa Tengah melebihi gubernur. Terbukti, pada saat terjadi sengketa antara keduanya, Jokowi tampil menjadi pemenang.
Yang mendampingi Jokowi, Ahok, juga istimewa karena ia pernah terpilih menjadi Bupati Belitung Timur yang berpenduduk mayoritas muslim fanatik yang dalam pemilu legislatif merupakan basis pendukung Partai Bulan Bintang (PBB) yang jelas-jelas mengusung asas Islam. Padahal Ahok sendiri non-muslim.
Kedua, pasangan Jokowi-Ahok paling “merakyat”. Pada saat mendaftarkan diri menjadi bakal calon Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta. Keduanya diarak rame-rame oleh rakyat dengan kendaraan rakyat (Metro Mini) ke kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta.
Ketiga, meskipun baru muncul di permukaan –bila dibandingkan dengan calon-calon yang lain— pasangan ini memiliki popularitas yang –diduga—bisa mengalahkan Fauzi Bowo alias Foke yang dalam setiap polling selalu paling unggul.
Prestasi Jokowi
Jokowi lahir di Surakarta, 21 Juni 1961. Menjadi Walikota Kota Surakarta (Solo) selama dua periode 2005-2015. Pada saat pertama kali mencalonkan diri, banyak yang meragukan kemampuan insinyur kehutanan lulusan Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta ini. Karena di samping penampilannya yang kurang meyakinkan, profesinya juga “hanya” pedagang furniture rumah dan taman yang relatif jauh dari hiruk-pikuk dunia politik praktis.
Tapi, setelah ia terpilih, lambat laun publik semakin kagum dengan terobosan-terobosan langkahnya. Di bawah kepemimpinannya, Solo mengalami perkembangan pesat. Tanpa didahului studi banding sebagaimana yang sering dilakukan anggota DPR, Jokowi membangun kota Solo dengan menyontoh kemajuan kota-kota di Eropa.
Dengan slogan "Solo: The Spirit of Java" Jokowi mampu membersihkan taman-taman kota --dari para pedagang yang kerap mengotori dan mengalih fungsi taman—dengan tanpa gejolak yang berarti. Karena pendekatan yang dilakukannya sangat manusiawi, yakni dengan cara menyapa mereka secara langsung dan berbicara dari hati ke hati.
Untuk “menjual” kota Solo/Surakarta ke pentas dunia, pada tahun 2006, Jokowi mendaftarkan Solo menjadi anggota Organisasi Kota-kota Warisan Dunia. Dua tahun kemudian (25-28 Oktober 2008), Solo sudah menjadi tuan rumah Konferensi Internasional Organisasi Kota-Kota Warisan Dunia (International Conference of World Heritage Cities).
Benteng Vestenburg yang pada pemerintahan sebelumnya terancam digusur untuk disulap menjadi pusat bisnis dan perbelanjaan, oleh Jokowi justru dijadikan tuan rumah Festival Musik Dunia (FMD) pada tahun 2007. Dan pada berikutnya (2008), FMD digelar di komplek Istana Mangkunegaran.
Karena prestasi-prestasinya yang fenomenal, dalam polling Majalah Tempo, Jokowi terpilih menjadi salah satu dari "10 Tokoh 2008". Dan baru-baru ini, popularitas Jokowi melejit karena pembelaannya terhadap mobil ciptaan anak bangsa sendiri yakni “Esemka-Kiat” yang kemudian dijadikannya sebagai mobil dinas walikota. Padahal mobil ini belum lulus uji emisi.
Integritas Ahok
Zhong Wan Xie alias Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang menjadi calon wakil gubernur mendampingi Jokowi merupakan sosok yang unik. Mengapa unik, karena Ahok pada mulanya, seperti juga Jokowi, bukan politisi. Tetapi pada saat masuk dunia politik karirnya langsung melejit.
Tahun 2003 masuk Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB) yang saat itu dipimpin oleh Dr. Sjahrir (alm). Pada pemilu 2004 ia mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Meskipun dengan uang yang sangat terbatas, ia terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Belitung Timur periode 2004-2009. Baru tujuh bulan menjadi wakil rakyat, berkat prestasinya, dan atas dorongan dari berbagai kalangan, tahun 2005 Ahok maju menjadi calon Bupati Belitung Timur.
Sekali lagi, hanya dengan modal uang yang terbatas, secara mengejutkan Ahok berhasil mengantongi 37,13 persen suara dan menjadi Bupati Belitung Timur periode 2005-2010. Pada tahun 2007, Ahok mencoba peruntungan maju dalam Pilkada Provinsi Bangka Belitung. Sayangnya belum berhasil karena dicurangi lawan dari berbagai segi. Tapi pada tahun 2009 ia berhasil menjadi anggota DPR RI dari Partai Golkar dengan raihan suara yang signifikan, padahal sebagai orang daerah ia hanya ditempatkan di nomor urut “tidak jadi”. Ahok tertolong oleh keputusan MK yang menetapkan suara terbanyak yang berhak menjadi anggota legislatif terpilih.
Apa yang membuat Ahok berhasil dalam politik? Kuncinya pada integritas. Dalam kampanye ia menghindari politik uang. Caranya sederhana, ia rajin berkeliling, dan berdialog langsung dengan rakyat. Untuk menindaklanjuti dialognya, ia bagikan nomor telepon yang juga ia pakai sehari-hari.
Selama menjadi anggota DPRD ia berhasil menunjukan integritasnya dengan menolak ikut dalam praktik KKN, menolak mengambil uang SPPD fiktif, dan menjadi dikenal masyarakat karena ia satu-satunya pejabat yang berani secara langsung dan sering bertemu dengan masyarakat untuk mendengar keluhan mereka sementara yang lain lebih sering “mangkir”.
Cara yang sama ia terapkan ketika menjadi Bupati dan DPR RI. Selama di Senayan, Ahok dikenal sebagai figur apa adanya, vokal, dan mudah diakses oleh masyarakat banyak. Untuk menjaga integritasnya ia menetapkan standard anti-korupsi, transparansi dan profesionalisme dengan cara memberi laporan secara rutin pada rakyat melalui website pribadinya yang bisa diakses kapan pun dan oleh siapa pun.
Karena integritasnya, pada tahun 2007 Gerakan Tiga Pilar Kemitraan yang terdiri dari Masyarakat Transparansi Indonesia, KADIN dan Kementerian Negara Pemberdayaan Aparatur Negara memberikan Ahok penghargaan sebagai tokoh anti korupsi dari unsur penyelenggara negara. Dan, Tempo pun menobatkan Ahok sebagai satu dari “10 tokoh” yang mangubah Indonesia.
Tantangan
Pasangan Jokowi-Ahok adalah perbaduan antara profesionalisme, kreativitas, dan integritas. Dengan ketiga hal inilah baik Jokowi maupun Ahok sudah mendulang prestasi di daerahnya masing-masing. Akankah prestasi itu bisa ditransfer ke Jakarta dengan sejuta problematikanya? Ini pertanyaan penting yang tidak perlu dijawab saat ini. Jika segenap warga Jakarta memilihnya pada Pilkada Juli nanti, biarlah Jokowi-Ahok yang akan membuktikannya.
Tantangan terberat bagi Jokowi-Ahok untuk memenangkan Pilkada DKI adalah pragmatisme dan fanatisme. Warga Jakarta sudah terbiasa tergerak karena uang dan kepentingan. Dan warga Jakarta juga sebagian masih berkutat pada masalah-masalah yang sepele yang tak ada kaitan dengan profesionalisme, yakni soal perbedaan suku, keyakinan dan agama. Jika kedua tantangan ini bisa diatasi, saya kira akan mudah bagi Jokowi-Ahok untuk memenangkan Pilkada ini.
Jeffrie Geovanie
Politisi Partai NasDem