Yakuza dan Nama Baik Preman
2 Maret 2012
0
comments
Betulkah preman punya nama baik? Pertanyaan itu
mungkin absurd. Tapi itulah yang terjadi. Di Jepang, kata “preman”
memang punya makna ganda.
Suatu siang, saya bersama kawan Jepang berjalan di
daerah Shinjuku, Tokyo. Di sana kami melihat ada seseorang yang
berpenampilan necis dengan setelan jas mahal. Orangnya terlihat ramah
dan santun. Kawan saya mengatakan bahwa orang itu adalah anggota yakuza,
atau mafia Jepang. Mafia, atau apapun namanya, pada dasarnya adalah
preman karena bekerja dengan kejahatan. Tapi menurut kawan saya, yakuza
di Jepang tak selamanya jahat. Mereka juga terkenal punya nama baik.
Yakuza memang sebuah paradoks. Keberadaan mereka di
Jepang bukan seperti sebuah kelompok rahasia. Semua orang Jepang tahu
siapa yakuza. Bahkan polisi dan politisi juga mengetahui eksistensi
kelompok ini. Selama ini mereka seperti saling memiliki kode etik dalam
persinggungannya.
Yakuza hidup dari pemerasan, judi, prostitusi, obat
bius, penyelundupan, pencucian uang, serta memberi proteksi keamanan
pada perusahaan-perusahaan konstruksi dan real estate, termasuk
menyediakan jasa buruh dan penyelidik swasta. Mereka, menurut teman
saya, melakukan pekerjaan di mana orang lain tidak mau melakukannya.
Umumnya pekerjaan ini dikenal dengan istilah pekerjaan rendah, kotor,
dan berbahaya.
Meski hidup dalam dunia hitam, yakuza terkenal juga
sebagai kelompok sosial yang luar biasa. Saat gempa bumi Jepang bulan
Maret 2011 lalu, peranan yakuza dalam membantu para korban sangat besar.
Ketika seluruh bantuan, baik dari pemerintah maupun asing, belum tiba,
anggota yakuza sudah turun ke lapangan dan memberi bantuan bagi para
korban.
Saat kiriman tenaga dan bantuan datang, yakuza ikut
membantu mengamankan agar tidak terjadi penjarahan dan kekacauan.
Mereka juga bertugas menyalurkan bantuan hingga daerah terpencil. Yakuza
bahkan membuat posko-posko bantuan di banyak tempat korban gempa.
Hal yang mengejutkan juga adalah saat terjadi
krisis nuklir Fukushima di Jepang. Yakuza, ternyata ada di belakang
upaya-upaya penyelamatan warga, dan lebih hebat lagi, mereka membantu
mengendalikan radiasi di reaktor nuklir Fukushima.
Adalah Tomohiko Suzuki yang baru saja mengungkapkan
realita ini dalam buku terbarunya, “Yakuza and the Nuclear Industry”.
Mungkin banyak dari kita yang tidak mengira kalau yakuza erat kaitannya
dengan industri nuklir Jepang, dan yang lebih mengagetkan lagi, para
yakuza ini rela mengorbankan hidup mereka saat terjadinya krisis nuklir
di Jepang.
Risiko pelelehan nuklir (nuclear meltdown)
saat itu sudah di depan mata. Untuk mencegah hal itu terjadi, beberapa
pekerja harus tetap berada di tempat mengatasi ledakan-ledakan yang terus terjadi. Mereka
terus menerus menyiram reaktor yang mendidih dengan air laut, karena
matinya alat pendingin otomatis. Radiasi nuklir saat itu ter-ekspos ke
udara dalam jumlah yang sangat tinggi dan membahayakan nyawa. Mereka
yang ter-ekspos memiliki risiko mati saat itu juga, ataupun mati
perlahan dalam waktu 10 tahun ke depan karena dampak radiasi. Itu
hanyalah sebuah pilihan.
Saat itu, muncul-lah istilah “Fukushima Fifty”,
atau lima puluh orang yang berani mati dan terus bekerja selama 24 jam
di Fukushima. Suzuki menyebutkan bahwa di antara grup heroik tersebut,
beberapa anggotanya adalah yakuza.
Suzuki tentu bukan sekedar asal sebut. Ia melakukan
investigasi dan penyamaran di Fukushima untuk memperoleh data tentang
yakuza yang terlibat dalam penyelamatan krisis nuklir nasional.
Menurutnya, ada lebih dari 1000 orang yakuza yang mempertaruhkan nyawa
demi mengatasi krisis nuklir.
Pekerjaan memadamkan reaktor saat itu sungguh
mengerikan. Di tengah ledakan-ledakan, para pekerja memiliki risiko 100
persen ter-ekspos radiasi. Masker pengaman hanya mampu mengurangi 60
persen risiko radioaktif.
Pekerjaan penuh bahaya dengan risiko nyawa seperti
itu tak banyak yang mau melakukan. Tapi yakuza di Jepang maju
mengirimkan anggotanya untuk mempertaruhkan nyawa. Saat
krisis nuklir mencapai puncak, yakuza direkrut dari seluruh penjuru
Jepang. Mereka dibayar sekitar 50 ribu Yen (sekitar Rp.5 juta) per hari,
bahkan ada yang mencapai 200 ribu Yen. Tapi, siapa yang mau menyerahkan
nyawa demi uang seperti itu bukan?
Kenyataannya, memang tak mudah mencari orang yang
mau mengorbankan nyawanya. Tentu saja banyak karyawan reaktor yang punya
dedikasi dan rela mengorbankan nyawanya tanpa dibayar. Tapi jumlah
mereka sangat kurang dibandingkan dengan krisis yang dihadapi.
Sebelum Suzuki, Anton Kusters, seorang fotografer,
juga menerbitkan buku fotografinya yang berjudul “Odo Yakuza Tokyo”.
Selama dua tahun, Anton Kusters masuk ke dalam keluarga Yakuza dan
mengabadikan momen-momen mereka.Buku Anton menampilkan sisi humanis
yakuza. Bahwa yakuza juga manusia.
Buku-buku seperti yang diterbitkan Suzuki dan
Kusters sempat menimbulkan perdebatan dan kritik di Jepang. Buku
tersebut dianggap menampilkan sisi baik dan kemanusiaan Yakuza, di
tengah upaya pemerintah Jepang memerangi mereka.
Yakuza pada kenyatannya tetaplah sebuah kelompok
preman yang melakukan kejahatan-kejahatan. Kasus penyelundupan,
pembunuhan, dan saling tembak di muka umum masih terjadi dan meresahkan
masyarakat Jepang. Selang beberapa pekan lalu, di wilayah Tokyo, terjadi
baku tembak dan pemukulan di salah satu restoran, yang dilakukan oleh
anggota yakuza.
Pemerintah Jepang sendiri secara terang-terangan
telah mengumumkan perang pada yakuza. Pihak Kepolisian Jepang bahkan
telah mengusulkan ke parlemen sebuah Undang-undang yang isinya
memberangus sindikat kejahatan.
Beberapa pimpinan yakuza juga satu per satu mulai
ditangkapi oleh kepolisian Jepang. Pimpinan nomor satu dan dua dari klan
Yamaguchi-gumi, sindikat yakuza terbesar Jepang yang bermarkas di Kobe,
juga telah ditangkap. Kelompok Yamaguchi-gumi ini diperkirakan memiliki
anggota sekitar 35 ribu orang di seluruh Jepang. Posisi mereka kini
diawasi ketat oleh pihak keamanan Jepang.
Upaya memerangi yakuza juga didukung oleh pihak
Amerika Serikat. Tanggal 23 Februari 2012 lalu, pihak kementerian
keuangan AS membekukan semua rekening yang terkait dengan yakuza,
terutama dari klan Yamaguchi-gumi. Mereka diindikasikan terlibat
penjualan obat bius, prostitusi, dan pencucian uang. AS membekukan pula
asset orang nomor satu Yamaguchi-gumi, Don Kenichi Shinoda aka Shinobu
Tsukasa dan orang nomor duanya, Kiyoshi Takayama.
Hidup yakuza diperkirakan semakin sulit ke depan,
karena pihak keamanan terus menerus mengejar mereka. Saat ini, yakuza
sudah dilarang untuk terlibat di setiap proyek konstruksi.
Perusahaan-perusahaan yang memiliki hubungan dengan yakuza akan dikenai
sanksi. Selain itu, beberapa figur publik yang terbukti punya hubungan
dengan yakuza juga dikecam, bahkan dipecat dari pekerjaannya.
Para petinggi Asosiasi Sumo Jepang dan pesumo
profesional mengundurkan diri karena punya hubungan dengan yakuza.
Seorang penyiar TV di Jepang dipecat dari pekerjaannya karena
berhubungan dengan Yakuza.
Preman, di satu sisi memang “sampah” masyarakat.
Keberadaannya perlu terus menerus diperangi agar ketenteraman di tengah
masyarakat dapat terwujud. Tapi preman juga adalah sebuah paradoks.
“Yakuza mungkin sampah masyarakat,” kata Suzuki, “tapi mereka tidak
menghancurkan kehidupan ribuan penduduk Jepang dengan segala keserakahan
dan ketidak-kompeten-an mereka”.
Hal yang lebih parah memang bukan para preman ini.
Tapi orang-orang yang bungkus luarnya bukan preman, bahkan kerap punya
cap otoritas resmi, tapi melakukan kegiatan seperti preman. Mereka
inilah yang justru lebih berbahaya.
Salam dari Tokyo