7 Tokoh Keturunan Tionghoa yang Berjasa Bagi Indonesia
27 Agustus 2012
0
comments
Warga keturunan Tionghoa sering mendapatkan perlakuan diskrimatif karena ras yang berbeda. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga negara-negara lain yang menjadi tujuan imigrasi nenek moyang mereka dari Tiongkok Daratan yang berlayar mengarungi samudera beratus-ratus tahun yang lalu. Di Indonesia sendiri, bangsa Tiongkok pertama kali menjalin hubungan dengan pribumi lewat perdagangan. Seiring dengan berjalannya waktu, banyak dari mereka yang menikahi warga pribumi dan mendapatkan keturunan sehingga akhirnya menetap di Tanah Air. Setelah menjadi warga negara Indonesia, tak sedikit dari mereka yang menjelma menjadi seorang tokoh nasional. Banyak di antaranya yang ikut serta mendirikan negara Republik Indonesia, walaupun tak banyak yang mengenalnya. Berikut 7 tokoh nasional keturunan Indonesia-Tionghoa yang berjasa terhadap nusa dan bangsa.
Laksamana Muda TNI (Purn) John Lie
Laksamana Muda TNI (Purn) John Lie atau Jahja Daniel Dharma merupakan seorang perwira tinggi Angkatan laut yang sarat pengalaman dan juga jasa. Mengawali perjalanan hidup sebagai seorang pelaut, John Lie ikut sebuah kapal dagang Belanda sebelum bergabung dengan Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi dan akhirnya menjadi Kapten di Angkatan Laut Republik Indonesia. Ia berjasa mengawal barang-barang yang ditukar dengan senjata di Singapura untuk melawan pemerintah Belanda. Oleh karena terlalu tenggelam dalam kehidupannya sebagai tentara Indonesia, ia baru sempat menikah ketika usianya menginjak 45 tahun. Laksamana Muda John Lie meninggal pada 27 Agustus 2008. Ia mendapat gelar Bintang Mahaputera Utama dari mantan presiden Soeharto pada 1995 dan Bintang Mahaputera Adiprana serta Pahlawan Nasional oleh Presiden SBY pada 2009.
Djiaw Kie Song djaw kie song
Peristiwa Rengasdengklok mungkin tak akan pernah terjadi tanpa adanya campur tangun Djiaw Kie Song. Ia rela membiarkan rumahnya dijadikan tempat “penyanderaan” Sukarno dan Hatta oleh para tokoh pemuda di antaranya Sukarni, Chaerul Saleh, dan Adam Malik pada Kamis, 16 Agustus 1945. Djiaw Kie Song adalah seorang petani biasa yang tingal di Dusun Bojong, Rengasdengklok, Karawang. Sekarang rumah tersebut masih ditinggali oleh keluarganya. Sebelum meninggal pada 1964, Djiaw berpesan agar keluargany tak boleh meminta imbalan apapun dari orang lain. Setiap orang yang ingin tahu sejarah rumah itu harus dilayani. Djiaw pernah mendapatkan piagam penghargaan dari Mayjen Ibrahim Adjie pada 1961 ketika ia menjabat sebagai Pangdam Siliwangi.
Abdurrahman Wahid
Mungkin tak banyak yang tahu, namun Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur pernah menyatakan bahwa ia mempunyai darah Tionghoa mengalir dalam nadinya. Dengan terbuka ia mengakui bahwa ia masih memiliki garis keturunan dari Tan Kim Han yang menikahi Tan A Lok yang merupakan saudara Raden Patah (Tan Eng Hwa) yang mendirikan Kesultanan Demak. Menurut riset yang dilakukan seorang peneliti berkebangsaan Prancis, Louis Charles Damais, Tan Kim Han dikenal sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang dimakamkan di situs sejarah Trowulan.
Lauw Chuan Tho
Bersama beberapa tokoh keturunan Tionghoa lain seperti sejarawan Ong Hok Ham dan pendiri harian Kompas, P.K. Ojong, Lauw Chuan Tho turut terlibat dalam pencetusan Piagam Asimilasi yang menganjurkan agar warga keturunan Tionghoa sepenuhnya berasimilasi dengan masyarakat Indonsia. Lauw Chuan Tho memeluk Islam pada 1979 dan mulai dikenal sebagai Junus Jahja. Ia menjadi penyokong berdirinya Masjid Lautze di Jakarta serta Yayasan Haji Karim Oei. Junus Jahja yang pernah dilantik menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung pernah dianugerahi gelar Bintang Mahaputra. Siauw Giok Tjhan
Siauw Giok Tjhan yang lahir di Surabaya pada 1914 merupakan salah seorang tokoh pejuang yang berhasil membawa Indonesa keluar dari belenggu penjajahan Belanda. Siauw Giok Tjhan yang juga ahli bela diri kung fu ini tercatat pernah menjadi Ketum Baperki, anggota BP KNIP, Menteri Negara, anggota parlemen RIS dan DPR, serta anggota DPRGR/MPRS juga anggota DPA. Ia turut berkontribusi pada pendirian Universitas Trisakti yang dulu bernama Universitas Res Publika.
Lie Eng Hok
Lie Eng Hok dikenal luas sebagai tokoh Perintis Kemerdekaan Indonesia pada masa pergerakan melawan penjajah Belanda. Ia adalah salah satu tokoh yang memimpin pemberontakan 1926 di Banten. Waktu itu, bersama rekan-rekan seperjuangannya ia merusak jalan, rel kereta api, jembatan, rumah-rumah dan kantor-kantor Belanda untuk menunjukkan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial yang menindas masyarakat. Eng Hok juga dikenal sebagai wartawan Surat Kabar Sin Po. Ia memilih menjadi penambal sepatu untuk menyambung hidup daripada mengabdikan diri pada penjajah Belanda. Pada 22 Januari 1959, Lie Eng Hok mendapat gelar Pahlawan Perintis Kemerdekaan RI.
Soe Hok Gie
Soe Hok Gie merupakan tokoh keturunan Tionghoa termuda dalam daftar ini. Walaupun meninggal pada usia muda (26 tahun), ia mewariskan idealisme kokoh khususnya kepada para mahasiswa Indonesia yang rajin berdemo di jalanan untuk menentang pemerintahan yang tidak mementingkan kepentingan rakyat. Soe Hok Gie merupakan pemuda cerdas yang berani melontarkan kritik bahkan terhadap gurunya sendiri sewaktu ia mendapati gurunya bertindak otoriter. Mantan mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Indonesia ini sangat vokal dalam usaha penggulingan pemerintahan Orde Lama yang dianggapnya korup dan tidak lagi memedulikan rakyat. Tulisan-tulisannya yang sudah dihimpun menjadi beberapa buku menjadi buku wajib para aktivis mahasiswa. Hok Gie yang merupakan seorang pecinta alam meninggal secara tragis pada 1969 sehari sebelum hari ulang tahunnya di Gunung Semeru akibat menghirup gas beracun. Seorang kawannya, Idhan Lubis, juga turut meninggal di lokasi yang sama.