Hitam Putih Kehidupan John Kei
23 Februari 2012
0
comments
Pahit dan manis kehidupan tampaknya sudah dialami John Kei (42).
Sejak usia belia, John memutuskan keluar dari tanah kelahirannya di
Tutrean, Pulau Kei, Maluku, menuju ke Surabaya pada tahun 1986. Setahun
kemudian, John datang ke Ibu Kota dan mulai memperkenalkan diri sebagai
John Kei kendati nama aslinya adalah John Refra.
John yang
sifatnya cuek ini tak malu harus hidup di kolong jembatan saat di
Surabaya. Di saat itu, John mulai harus berjuang sendiri untuk hidup.
Kehidupan keras anak jalanan ditempuhnya. Dengan watak yang juga keras,
John pun mampu bertahan.
Pindah ke Jakarta, keahlian John dalam
bergaul dan memberikan pengaruh juga akhirnya berdampak dengan
lingkungan barunya di kawasan Berlan, Jakarta Pusat. John kemudian
tumbuh sebagai seorang "yang dituakan". Ia pula dipercaya sebagai Ketua
Angkatan Muda Kei sejak tahun 1998 dan belum pernah digantikan hingga
kini.
Sisi hitam
Berawal dari perjuangan
seorang diri, John Kei kini justru memiliki belasan ribu pengikut
setianya. Ia juga disebut-sebut memiliki bisnis jasa pengamanan, jasa
penagihan, jasa konsultan hukum, dan pemilik sasana tinju Putra Kei yang
memberikan kemakmuran tersendiri bagi John dan keluarganya. Tetapi,
kehidupan John tidak lepas dari catatan kriminalnya yang cukup panjang.
Bahkan,
John Kei sempat disandingkan dengan mafia-mafia di Italia dan diberikan
gelar "Godfather Jakarta" karena berbisnis layaknya mafia, tetapi
jarang tersentuh aparat kepolisian. Dari rangkaian kasus yang dikaitkan
dengan dirinya, John baru sekali divonis penjara.
Perseteruan
pertama terjadi pada tanggal 2 Maret 2004. Saat itu, massa dari Basri
Sangaji dan John Kei bentrok di Diskotek Stadium, Taman Sari, Jakarta
Barat. Sebelum peristiwa itu terjadi, John juga sempat diserang oleh
massa Basri di Diskotek Zona sehingga membuat tiga jari tangannya kaku
dan tak bisa digerakkan hingga kini.
Pada tanggal 12 Oktober
2004, nama John Kei kembali dikaitkan dengan Basri Sangaji. Basri tewas
ditembak di bagian dada saat berada di dalam kamar 301 Hotel Kebayoran
Inn, Jakarta Selatan. Di dalam kasus ini, John Kei lolos dari jeratan
hukum karena tidak terbukti terlibat.
Namun, pada tanggal 11
Agutus 2008, John bersama adiknya, Tito Refra, benar-benar harus hidup
di balik bui. Keduanya divonis delapan bulan penjara oleh Pengadilan
Negeri (PN) Surabaya karena menganiaya dua pemuda, yakni Charles Refra
dan Remi Refra, di Maluku. Jari kedua pemuda itu putus akibat
penganiayaan tersebut.
John dan Tito akhirnya ditangkap oleh
Densus 88 di Desa Ohoijang, Kota Tual, Maluku Tenggara. Saat itu,
rencana persidangan akan digelar di Maluku, tetapi karena ada ancaman
dari para pendukung John akhirnya sidang digelar di PN Surabaya.
Loyalis-loyalis John Kei juga kembali membuat ulah.
Pada 4 April
2010, massa Kei bentrok di klub Blowfish dengan massa Thalib Makarim
dari Ende, Flores. Dua anak buah John tewas. Perseteruan antara massa
dari Flores dengan loyalis John juga kembali terjadi saat persidangan
kasus Blowfish digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal
29 September 2010. Pada bentrok yang disertai dengan suara tembakan dan
dikenal dengan peristiwa "Ampera Berdarah" itu, dua anggota kelompok
John Kei tewas dan seorang sopir Kopaja juga turut menjadi korban. Saat
itu, adiknya Tito mendapatkan luka tembak di dada dan nyaris masuk ke
jantung. Namun, beruntung, Tito berhasil selamat.
Terakhir, John
Kei kembali harus berurusan dengan aparat dalam kasus pembunuhan Tan
Harry Tantono alias Ayung (45) di Swiss-Belhotel, Sawah Besar, Jakarta
Pusat, pada tanggal 26 Januari 2012 lalu. Ayung tewas bersimbah darah
dengan 32 luka tusukan di pinggang, leher, dan perut. John pun diduga
menjadi dalang dalam pembunuhan Ayung yang merupakan klien pengguna jasa
penagihannya.
Saat ini, kepolisian sedang membuka lagi kasus-kasus lama di mana John Kei lolos dari jerat hukum.
Sisi putih
Adik kandung John Kei, Tito Kei, membantah bahwa kasus-kasus yang disebutkan tadi terkait semua dengan John Kei.
"Terkadang
ada adik-adik kita yang buat onar dan bilangnya anak buah John Kei.
Padahal, sama sekali tidak disuruh, karena kadang mereka kesal kakak
saya diapain, terus mereka tidak terima dan bertindak sendiri," ungkap Tito, Selasa (21/2/2012), dalam perbincangan dengan Kompas.com di Rumah Sakit Polri Soekanto, Jakarta.
Ia
mengatakan, meski secara fisik kakaknya terlihat seram dan galak,
sebenarnya dia adalah sosok penyayang. "Coba saja yang kenal dekat dia.
Pasti akan bilang dia orang paling baik karena dia sangat peduli dengan
adik-adik atau orang-orang susah. Orangnya dermawan," tutur Tito.
Contoh
kedermawanan John, imbuh Tito, ada dengan pembangunan sebuah gereja dan
rumah pastor di kampung halaman mereka di Pulau Kei. John di sana
menjadi penasihat pembangunan gereja, sedangkan Tito ketua pelaksananya.
"Kami
mulai dari nol. Tukang dan bahan semua kami bawa dari Jawa. Rencananya
April 2013 akan pemberkatan gereja," imbuhnya. Gereja itu dibangun
selama empat tahun dari tahun 2007 sampai tahun 2011. Dana pembangunan
didapat dari pemerintah daerah sebesar Rp 100 juta. "Tapi gereja itu
biayanya miliaran, akhirnya kakak saya yang bantu semua," paparnya.
Selain
membangun gereja, John juga memutuskan untuk membantu 20 rumah warga di
Pulau Kei yang masih beratapkan jerami. Dia juga sempat membantu Umar
Kei, keponakan John Kei, dengan memberikan lampu-lampu taman di halaman
masjid. "Kalau ada yang bilang John Kei dan Umar Kei itu berseteru, itu
tidak benar. Perseteruan itu hal yang biasa, tapi kami bisa rujuk
lagi," imbuhnya.
Dengan sifat John Kei yang peduli itu, Tito
menjadikan sosok John sebagai idola di dalam keluarga. "Saya tidak
mungkin ada di Jakarta ini kalau tanpa bantuan dia," katanya. Tito
mengetahui bahwa banyak orang yang mencap kakaknya layaknya seorang
gangster. "Itu terserah orang menilai kami bagaimana. Kami tidak bisa
halangi," tandasnya.