Inilah Lima Salah Kaprah Idul Fitri
19 Agustus 2012
0
comments
Menjelang Idul Fitri 1432 H ini, saya kepingin ikut meramaikan acara
akbar berbagi pikiran yang kita lakukan sudah lama dan dengan sangat
keren di sini. Menjelang Idul Fitri pula, saya dengan ini membagikan isi
pikiran saya tentang beberapa hal yang salah kaprah bagi masyarakat
terkait hari raya dan beberapa penjelasan yang berhasil saya kumpulkan
dari berbagai sumber.
Tidak bisa dipungkiri, masih banyak salah kaprah, dalam konteks bahasa
dan nonbahasa kita sehari-hari, begitu pula dalam konteks hari raya.
Idul Fitri sebagai hari raya terbesar umat Islam di Indonesia juga
hingga saat ini masih menjumpai kita dalam hal-hal yang salah kaprah dan
perlu diperbaiki, baik terkait penggunaan kata istilah, sudut pandang,
pemahaman, dan bahkan keyakinan.
Berikut lima hal yang sering disalah-kaprahkan oleh masyarakat terkait Idul Fitri.
- Kalimat “Minal Aidin Wal Faidzin“. Kalimat khas Idul Fitri ini seringkali diikutkan setelah ucapan selamat lebaran yang bisa diramu ke dalam diksi-diksi yang lebih menarik. Namun, masih banyak di antara kita yang mengartikannya sebagai arti dari kata “Mohon Maaf Lahir dan Batin” yang seringkali pula menjadi kalimat pelanjutnya. Padahal, ulama dan ahli bahasa Arab sudah menjelaskan berkali-kali melalui media bahwa kalimat Minal Aidin Wal Faidzin berarti ““Termasuk dari orang-orang yang kembali (dari perjuangan ramadhan) sebagai orang yang menang”.* Ulama menjelaskan, lebih tepat jika mengungkapkan Taqobbalallahu Minna wa Minkum sebagai wujud permohonan maaf dan rasa terima kasih. Kalimat ini pun diungkapkan tidak hanya pada momen lebaran, tapi setiap waktu.
- Silaturahim bukan Silaturahmi. Kaum ulama menyarankan kita membiasa-gunakan kata “Silaturahim” yang dimaksudkan menyambung rasa kasih sayang dan saling pengertian, termasuk dalam momen Idul Fitri. Sedangkan, kata “Silaturahmi” sejatinya terdiri dari dua penggal kata, “silah” yang artinya menyambungkan dan “rahmi” yang artinya rasa nyeri yang dirasakan ibu saat melahirkan. Maka jelas saja, silaturahmi berarti menyambungkan rasa nyeri yang dirasakan ibu saat melahirkan. Kurang sesuai konteks dan logika.**
- Perbedaan hari raya dianggap saling seberang antara pemerintah dan ormas Muhammadiyah. Hal satu ini juga seringkali disalahkaprahkan. Sebagian masyarakat, terutama di kampung halaman saya di Sulawesi, masyarakat masih kadang berkomentar bahwa keterlambatan pelaksanaan hari raya sebagaimana sering ditetapkan pemerintah melawan pendapat ormas Muhammadiyah yang memutuskan hari idul Fitri jatuh pada hari sebelumnya, merupakan bentuk seberang pemahaman. Padahal, dalam sidang isbat (penentuan jatuh-tepatnya hari lebaran) sendiri dihadiri oleh semua tokoh yang berkepentingan dan berkompeten, termasuk semua ormas Islam terbesar. Jadi, sejatinya meski penetapan hari raya berbeda, sejatinya dalam dewan isbat sudah terjadi kesepahaman dan kesepakatan untuk saling mengerti dan menerima pemahaman masing-masing. Tentunya didudkung perhitungan-perhitungan ilmiah berdasarkan tuntunan Agama. Tidak main-main, bukan?
- Salat ied dilaksanakan terlalu pagi. Di Indonesia salah ied dilakukan pada pagi hari saat matahari terbit. Sebagian masyarakat kita mungkin menyangka bahwa salat ied harus dilaksanan sepagi mungkin, padahal sejatinya tidak demikian. Jika salat ied dilaksanakan terlalu pagi, anggaplah pukul 6.30, akan ada banyak sekali jamaah yang terlambat bahkan tidak sempat mengikuti proses jamaah secara penuh, karena mereka datang dari tempat yang jauh. Pelaksanaan idul fitri bisa agak diakhirkan sesuai petunjuk dan anjuran syariat dengan hikmahnya yang agung. Menurut mayoritas ulama-ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hambali, waktu shalat ‘ied dimulai dari matahari setinggi tombak sampai waktu zawal (matahari bergeser ke barat). Jika diklasifikasikan khusus Indonesia dan seluruh wilayah zona waktu yang serupa, waktu terbaik salat ied dimulai adalah antara pukul 07.00 hingga pukul 8.30.***
- Salat ied di masjid atau di lapangan. Dua hal ini masih sering dilasah-kaprahkan dengan menentukan satu dan yang lainnya lebih utama. Berdasarkan beberapa hadist yang ditegaskan melalui pendapat-pendapat ulama, salat ied lebih utama dilaksanakan di masjid, jika masjid mampu menampung seluruh jamaah yang jumlahnya jauh melebihi jamaah salat biasa. Baru jika masjid dianggap tidak muat dan mengandung risiko, maka salat ied di lapangan akan jauh lebih afdol karena menjamin kekhusukan ribuan jamaah. Untuk masjid-masjid berukuran besar, jamaah dianjurkan melaksanakan salat ied di dalamnya. Namun jika di suatu kampung tidak ada masjid luas yang bisa menampung jamaah, maka akan lebih utama salat ied dilaksanakan di lapangan. Hal ini juga guna mengantisipasi risiko-risiko potensial seperti penyediaan sarana tanggap darurat, pengaturan tata suara, pengaturan saf, dan keterlihatan imam dan khatib oleh jamaah.
Demikian lima hal yang sering salah kaprah di antara masyarakat kita.
Saya sendiri setelah mendapatkan beberapa hal ini melalui berbagai
sumber, menjadi lebih optimis dan tercerahkan agar Ramadan dan Idul
Fitri saya berikutnya (Semoga diberikan umur panjang dan berkah) bisa
lebih baik di semua lini kehidupan.
Ohiya satu lagi. Seperti biasa, karena terkait bahasa, saya ingin
sedikit membocorkan salah kaprah kecil terkait bahasa kita dalam konteks
istilah agama. Kata “Salat” lebih tepat dibandingkan penulisan kata
“Shalat” dalam tata Bahasa Indonesia. Kata “salat” merupakan kata
serapan dari Bahasa Arab yang menuliskannya sebagai “Shalah”.
Penghilangan huruf H menurut saya dimaksudkan karena bagaimanapun
penyebutan kata ini akan tetap berbunyi Sh meski ditulis tanpa huruf
“H”. Begitu pula dengan kata Ramadhan yang lebih tepat ditulis “Ramadan”
saja. Silakan cek Kamus Besar Bahasa Indonesia. ;)
Maaf Lahir Batin, semuanya :)