The Amazing Spider-Man: Lebih “Amazing” dari Versi Sam Raimi (dengan Catatan)
10 Juli 2012
0
comments
YANG sudah-sudah, angka empat menjadi patokan sebuah franchise film superhero sepatutnya diceritakan ulang.
Itu setidaknya yang terjadi pada Superman dan Batman. Superman IV: Quest for Peace (1987) dianggap terlalu konyol. Saat Superman dibangkitkan lagi oleh Brian Singer sembilan belas tahun kemudian lewat Superman Returns (2006), film terdahulu ingin dilupakan pernah dibuat.
Pada Batman, film ke-empat Batman & Robin (1997) meraih
11 kategori Razzie Awards, Oscar-nya film buruk. Sang Batman di film
itu, George Clooney mengakui aktingnya buruk. Filmnya tidak cuma konyol,
tapi juga kekanak-kanakan. Saat Christopher Nolan mengangkat kisah
Batman lewat Batman Begins (2006), orang senang karena Nolan
memilih menceritakan ulang dari awal, bukan melanjutkan kisah konyol
sembilan tahun sebelumnya.
Nah, untuk Spider-Man, rupanya berhenti di angka tiga. Efek khusus Spider-Man 3
(2007) masih dahsyat, tapi tingkah Peter Parker menari di jalanan New
York begitu konyol. Hollywood, tepatnya Columbia Pictures (milik Sony
Pictures), memutuskan menamatkan Spider-Man versi Sam Raimi di angka 3
dan memilih menceritakan ulang dari awal lagi hanya berselang 5
tahun—membuat usia daur ulang franchise superhero semakin pendek.
Mudah mengatakan keputusan Hollywood mendaur ulang kisah Spider-Man
semata demi meraup untung. Ada anggapan menceritakan ulang kisah manusia
laba-laba dari awal lagi adalah sebuah keputusan tak perlu. Ada juga
yang bilang, Sony memang harus membuat film apa saja tentang
Spider-Man—superhero komik milik Marvel—agar hak memfilmkannya tetap
padanya dan tidak jatuh ke tangan Disney yang kini memiliki Marvel
Studios, tempat semua superhero Marvel bernaung. Alih-alih melanjutkan
kisah yang sudah dibuat Raimi (misalnya dengan menceritakan Peter Parker
dan Mary Jane dalam kehidupan pernikahan mereka), Sony memilih memulai
dari awal lagi—seperti Nolan mengulang lagi kisah Batman dari awal.
Syahdan, di The Amazing Spider-Man,
kita bertemu lagi Peter Parker (kali ini diperankan Andrew Garfield).
Tapi pacarnya bukan Mary Jane, melainkan Gwen Stacy (Emma Stone).
Sisanya,masih sesuai pakem cerita Spider-Man yang kita kenal: masuk ke
lab lalu disengat laba-laba hasil percobaan genetika, pamannya terbunuh
penjahat jalanan dan Peter merasa bersalah. Yang membedakan tentu jalan
ceritanya. Kali ini, Peter yang masih SMA (beda dengan Peter versi
Tobey Maguire yang sudah kuliah dan nyambi jadi pengantar pizza) mencari
tahu tentang orangtuanya yang hilang meninggalkannya sejak kecil.
Penyelidikannya membawanya pada Dr. Curt Connors, ilmuwan rekayasa
genetika berlengan satu, mitra ayahnya dulu. Dari sini plotnya kembali
terasa familiar dengan kisah Spider-Man terdahulu. Dr.Connors melakukan
percobaan atas dirinya sendiri dan ia malih rupa jadi monster kadal
raksasa jahat berjuluk The Lizard.
Tak terbantahkan, efek khusus di The Amazing Spider-Man
terlihat lebih dahsyat (baca: amazing) dibanding trilogi versi Raimi
sebelumnya. Marc Webb, sutradaranya, berhasil membuat pola gerakan si
manusia laba-laba lebih realis. Adegan laga di jembatan,di sekolah, dan
di puncak gedung juga tak kalah dahsyat.
Tekstur kostum Spider-Man bersisik yang dikenakan di versi Webb juga
lebih keren. Beda dengan Spider-Man pertama versi Raimi yang terlihat
lebih terang benderang, dan dengan demikian terlihat artifisial.
Yang absen adalah momen-momen yang membuat filmnya jadi ikonik. Untuk
yang satu ini, Spider-Man pertama versi Raimi masih patut diacungi
jempol lebih banyak. Di The Amazing Spider-Man tak ada momen ikonis macam ciuman terbalik ataupun kalimat yang berdengung terus hingga kini: with great power, comes great responsibility.
***
Sesuai niatannya, The Amazing Spider-Man
memang ingin terlihat lebih realis. Webb tak hendak membuat kisah
dengan adegan atau dialog yang diingat terus. Bisa jadi, buat Webb hal
itu tak penting. Yang terpenting adalah bagaimana kisahnya disajikan
dengan realistis dan terlihat wajar. Saking ingin terlihat realis, Webb
bahkan seolah merasa tak perlu memberi twist, semacam kelokan cerita
yang patut ditunggu kelanjutannya di kisah berikut. Yang ditawarkan Webb
adalah misteri (yang prolognya diungkap di akhir film usai credit title. Jadi, jangan keluar bioskop dulu begitu nama-nama kru dan pemain muncul). Di Spider-Man versi Raimi twist
kisahnya adalah tentang persahabatan dan rasa bersalah/tak enak hati
membunuh ayah sahabat sendiri yang telah jadi jahat (Peter
Parker/Spider-Man membunuh Dr. Osborn/Green Goblin, ayah Harry
sahabatnya). Di The Amazing Spider-Man sepenuhnya pencarian jati diri Peter Parker mengungkap masa lalunya yang misterius.
Peter Parker versi Raimi dan Webb pun berbeda. Karakter Peter Parker di The Amazing Spider-Man tidak hanya dibebani persoalan kematian pamannya, tapi juga harus menghadapi realitas praktek bullying
di sekolah dan tumbuh tanpa orangtua. Itu karenanya, jika Peter Parker
versi Tobey Maguire terlihat seperti kutu buku yang kikuk, Peter Parker
versi Andrew Garfield adalah sosok yang minder, susah mengungkap
kata-kata, dan di wajahnya tampak beban pikiran seorang anak yang tak
tumbuh normal seperti anak kebanyakan dengan keluarga yang lengkap ada
ayah, ibu, dan anak. Pendek kata, Raimi memilih stereotip yang gampang:
kikuk. Webb memilih jalan lebih kompleks. Untungnya ia berhasil dan tak
jatuh seperti Bryan Singer saat menggarap Superman Returns yang banyak obrol.
Anda mungkin masih ingat, Spider-Man pertama dirilis tak lama setelah
tragedi 11 September 2001. Orang Amerika mengenang filmnya sebagai
blockbuster pertama pasca 9/11—semacam penanda kehidupan kembali normal
pasca tragedi besar. Sosok superhero Spider-Man dianggap membawa suasana
batin yang tepat pada warga AS kala itu yang butuh manusia super
menyelesaikan persoalan mereka.
The Amazing Spider-Man lahir setelah AS terlibat perang
Afghanistan, Irak, krisis ekonomi, memilih presiden kulit hitam pertama,
hingga China yang semakin besar mengancam dominasi Amerika. Dunia dan
Amerika dengan porosnya berubah semakin cepat dan kompleks. Kita butuh
superhero yang tak cuma diharap bisa mewakili kita menyelesaikan
persoalan dunia, tapi sang superhero sendiri punya persoalan yang harus
dipecahkannya. Sang superhero kita dikecamuk dendam kesumat, rasa
bersalah, persoalan di sekolah, plus dilema cinta. Pada titik ini,
superhero semakin manusiawi. Itu yang ditawarkan The Amazing Spider-Man.
Usai menonton film ini untuk wartawan, saya menulis kertas kuisioner yang dibagikan dengan komentar: Spider-Man for a new generation. Ya, The Amazing Spider-Man memang ditujukan bagi generasi penonton Glee dan generasi Web 2.0, saat sosok kutu buku adalah cool dan tidak sesederhana stereotip yang sudah ada (lihat The Social Network jika ingin contoh lebih jelas!).
Yang saya tak habis pikir, ternyata daur ulang franchise superhero
semakin pendek. Meski dapat tontonan ciamik, dalam hati saya berdoa,
semoga nanti tak ada film superhero yang mengulang ceritanya dari awal
setiap 3 tahun sekali.
Images credit: Columbia Pictures/Sony Pictures